oleh

14 Juli 1945 : Usulan Ketua BPUPKI Radjiman Wediodiningrat Dijadikan Sebagai Hari Pajak Nasional

KORANMAKASSAR.COM — Pungutan pajak di Indonesia sudah ada sejak masa kerajaan di Nusantara. Ketika itu, raja memegang kendali penuh terhadap daerah kekuasaannya. Sosok raja dipandang sebagai lambang kekuasan pemerintah. Pihak kerajaan melakukan pungutan kepada rakyat. Sebagai rasa hormat terhadap kerajaan, rakyat memberikan upeti.

Pada masa VOC di Indonesia, pajak diterapkan bagi daerah yang dikuasai secara langsung seperti Batavia dan Maluku. Bentuk pajak kala itu di antaranya pajak pintu (rumah) dan pajak perseseroangan. Pada masa kolonial Belanda, sistem yang diterapkan seperti sistem pajak Inggris yang digagas Sir Thomas Stanford Raffles.

Sistem pajak yang dirancang Raffles disebut pajak tanah (landrent), di mana mereka yang memiliki tanah/menggarap tanah wajib membayar pajak. Pembayaran pajak dalam sistem ini dibebankan pada kepala desa melalui barang-barang yang sudah ditentukan berkaitan dengan hasil panen rakyat. Bupati menjadi penanggung jawab pungutan pajak dari masyarakat.

Istilah pajak dalam peraturan perundang-undangan muncul saat disebut dalam sidang Badan Penyelidik Usaha persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang dilontarkan oleh Ketua BPUPKI Radjiman Wediodiningrat. Radjiman menyebutkan, harus ada aturan hukum soal pungutan pajak.

Rapat BPUPKI ini berlangsung pada 10 Juli-17 Juli 1945 dan membahas UU terkait keuangan dan ekonomi. Usulan soal pajak disampaikan pada 14 Juli 1945.

Kata “pajak” muncul dalam Rancangan Kedua UUD pada Pasal 23 butir kedua yang ada di BAB VI. Pasal 23 butir kedua berbunyi, “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”.