Oleh: M. Zulfikar, KHM
KORANMAKASSAR.COM — Kabut tipis turun dari Latimojong. Menyapu lembah, merayapi perkampungan, lalu hilang perlahan. Seolah-olah ingin berkata: ini Enrekang, selalu menyembunyikan sesuatu, tapi selalu punya kejutan.
Kali ini, kejutan itu datang dari Jakarta. Bukan dari langit, melainkan dari mesin negara: Undang-Undang Nomor 145 Tahun 2024. Isinya singkat. Tapi efeknya panjang.
Enrekang sekarang punya stempel. Diakui. Disebut. Dipertegas posisinya dalam bingkai otonomi daerah.
Bagi sebagian orang, ini biasa saja. Undang-undang? Ah, berapa banyak undang-undang yang sudah lahir di republik ini. Tapi bagi Enrekang, ini bukan sekadar regulasi. Ini semacam ijazah. Bahwa daerah ini sudah lulus satu tahap, dan siap naik kelas.
Naik kelas memang tidak mudah. Bayangkan saja sekolah. Ada anak-anak yang lulus hanya karena gurunya kasihan. Ada yang lulus karena nilainya memang bagus. Ada juga yang lulus karena pintar menyiasati keadaan.

Enrekang masuk kategori yang mana?
Saya cenderung melihat: Enrekang lulus karena kerja keras. Karena karakter warganya yang tidak mengenal kata menyerah. Karena tanah pegunungan yang keras, tapi membuat orangnya juga keras hati.
Lihat saja petani kopi di Baraka. Kebunnya menanjak, curam, tapi ia tetap tekun memelihara pohon-pohon itu. Atau petani jagung di Maiwa. Tanahnya kering, tapi ia tetap menanam. Itu semacam DNA orang Enrekang: tidak gampang mengeluh.
Maka, ketika UU ini turun, saya tidak melihatnya sebagai hadiah. Lebih tepat disebut tantangan.
Bagaimana Enrekang memanfaatkan kewenangan otonomi ini?
Bagaimana membangun jalan ke pelosok tanpa merusak hutan?
Bagaimana mendirikan sekolah baru tanpa membiarkan sekolah lama terbengkalai?
Bagaimana menghadirkan puskesmas di lembah, tanpa membuat rumah sakit di kota kekurangan dokter?
Itu PR yang jauh lebih rumit daripada sekadar menafsirkan pasal undang-undang.
Tapi Enrekang punya satu hal yang jarang dimiliki daerah lain: filosofi hidup.
“Kerja keras adalah ibadah.” Itu kalimat yang sederhana, tapi dampaknya luar biasa. Dengan prinsip itu, orang Enrekang tidak bekerja hanya untuk uang. Mereka bekerja karena merasa itu bagian dari iman.
Mungkin itu juga yang membuat mereka betah di tanah terjal. Tidak pindah ke kota besar. Tidak menyerah pada keadaan.
Saya jadi teringat perjalanan ke Cendana. Jalan berliku, kadang membuat kepala pening. Tapi di setiap tikungan, ada pemandangan yang menenangkan. Sawah bertingkat. Sungai kecil. Dan tentu saja: kabut yang tak pernah bosan turun.
Seperti itulah Enrekang. Sulit, tapi indah. Berat, tapi menenangkan.
Undang-undang baru ini akan membawa Enrekang ke tikungan baru. Tikungan sejarah. Di satu sisi, ada risiko: tergelincir oleh modernisasi. Di sisi lain, ada peluang: melesat lebih cepat menuju kemajuan.
Dan saya percaya, Enrekang akan memilih jalur kedua.
Tidak semua daerah punya brand yang kuat seperti Enrekang. Coba tanya orang Sulawesi Selatan, apa yang mereka ingat tentang Enrekang? Sebagian besar akan menjawab: pegunungan. Latimojong. Kopi.
Citra itu penting. Karena dari citra itulah datang investasi. Dari citra itulah lahir pariwisata. Dari citra itulah muncul kepercayaan.
Maka, tinggal bagaimana pemerintah daerah memainkan peran. Bagaimana bupatinya, DPRD-nya, camatnya, kepala desanya—mampu menjahit kebijakan agar sesuai dengan ruh UU baru ini.
Saya membayangkan suatu hari nanti, Enrekang tidak hanya dikenal sebagai daerah kabut. Tapi juga daerah dengan jalan pedesaan yang mulus, sekolah yang ramai oleh anak-anak berprestasi, dan rumah sakit yang ramah pada pasien.
Dan semua itu dimulai dari satu lembar undang-undang.
Lembaran tipis yang bisa dengan mudah dilupakan. Tapi kalau dikelola dengan benar, bisa mengubah wajah sebuah daerah.
Kabut Latimojong akan tetap turun setiap pagi. Tapi kali ini, dari balik kabut itu, ada satu hal yang ikut naik: optimisme.
Optimisme sebuah kabupaten yang sedang menulis babak barunya dalam buku besar. (*)
Penulis adalah Ketua PD Ikatan Wartawan Online Enrekang